GEOLOGI
INDONESIA
CEKUNGAN
SUMATRA SELATAN
Disusun untuk
melengkapi tugas terstruktur pada mata kuliah Geomorfologi Indonesia.
Disusun oleh:
Muhammad
Afit (1201589)
Ramadhani Putri (1201552)
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
GEOGRAFI NK
Universitas
Negeri Padang
2013
Kata
Pengantar
Hanya oleh kurnia Tuhan Yang Maha Esa,
kami bisa menyelesaikan penulisan tugas ini, maka puji dan syukur
kehadirat-Nya.
Makalah ini disusun dengan tujuan
utama membantu mahasiswa Geografi NK 2012 untuk lebih mudah memahami tentang Geologi Sumatra Selatan
Penulis menyadari bahwa isi makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu keritik, masukan dan saran pembaca
sangat kami harapkan.
Daftar
Isi
Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan
Makalah............................................................................................. 2
BAB II
GEOLOGI INDONESIA
CEKUNGAN
SUMATRA SELATAN
A. Cekungan Sumatra Selatan............................................................................ 3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... 15
B. Saran.............................................................................................................. 15
Daftar Pustaka......................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wilayah
Nusantara dikenal mempunyai 62 cekungan yang diisi oleh batuan sedimen berumur
Tersier. Sekitar 40 % dari seluruh cekungan berada di daratan (onshore). Ke 62
cekungan tersebut tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua. Cekungan berumur Pratersier kebanyakan ditemukan di
wilayah Indonesia Bagian Timur, dan kebanyakan sulit ditarik batasnya dengan
cekungan berumur Tersier, karena umumnya ditindih (overlain) oleh cekungan
berumur Tersier.
Hampir
semua cekungan batuan sedimen di Indonesia sangat berpotensi mengandung sumber
daya migas, batubara dan serpih minyak (oil shale). Namun, batasan stratigrafi,
sedimentologi, tektonik & struktur maupun dinamika cekungan semua formasi
pembawa potensi sumber daya belum terakomodasi dan tergambar dalam bentuk
atlas.
Kerangka
tektonik regional Indonesia bagian barat terdiri dari paparan sunda yang
stabil, jalur geosinklin yang terdiri dari busur dalam vulkanic dan
busur luar non vulkanic. Busur dalam vulkanis memanjang dari Sumatera
bagian barat sampai Pulau Jawa bagian tengah. Busur non vulkanic
merupakan jalur pulau-pulau disebelah barat Sumatera hingga pegunungan samudera
di selatan Pulau Jawa (Koesoemadinata & Pulonggono, 1975). Cekungan
Sumatera Selatan termasuk pada daerah Indonesia bagian barat, merupakan salah
satu cekungan sedimen tersier yang berada pada zona antara Paparan Sunda dan
busur dalam vulkanik.
Sub
Cekungan Jambi yang berada di sayap utara Depresi Jambi. Cekungan
Sumatera Selatan dibatasi Daratan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung
di sebelah tenggara, Pegunungan Bukit Barisan disebelah barat daya serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut. Cekungan
Sumatra Selatan dibagi menjadi dua sub cekungan utama, antara lain :
· Sub
Cekungan Palembang
· Sub
Cekungan Jambi
B.
Rumusan
Masalah
Makalah ini
mengulas tentang:
·
Cekungan Sumatra
Bagian Selatan secara Umum
·
Stratigrafi
Regional Cekungan Sumatra Bagian Selatan
C.
Tujuan
Makalah
·
Mengulas tentang
geologi cekungan Sumatra Selatan
·
Mempermudah
Mahasiswa Geografi NK 2012 mempelajari kondisi geologi Sumatra Selatan.
BAB II
GEOLOGI
INDONESIA
CEKUNGAN
SUMATRA SELATAN
A.
Cekungan Sumatra Selatan
Geologi
Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan
erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara
hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman
lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa.
Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zone interaksi
tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk
dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan
batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik
lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur
belakang.
Cekungan
Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi
oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan
terjadi di akhir Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block
faulting). Selain Pegunungan
Barisan
sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang
masih tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan
Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian
"Sunda Landmass", yang sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan Sumatera
Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah
pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang
ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi
struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi
daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu,
Zone Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah baratlaut-tenggara dan zona
sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar
Pratersier yang mengalami peremajaa.
Secara
fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat
laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah
barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah
tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang
memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.Posisi
Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)
Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa
daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda
(sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah
cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah
barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut
Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier
(Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi
sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua
Asia. Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal
dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode
pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan
terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta
telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam
Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut –
tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode
kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak
tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara
– selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan
batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua
yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode
ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola
pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur
perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada
periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang
menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit
Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai
sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga
sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir
sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang
terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut –
tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat
laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik,
sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan
struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara
sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang
terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat
laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar
dengan Pulau Sumatera .
B. Stratigrafi
Regional Cekungan Sumatra Bagian Selatan
Stratigrafi
daerah Cekungan Sumatera Selatan telah banyak dibahas oleh para ahli geologi
terdahulu, khususnya yang bekerja dilingkungan perminyakan. Pada awalnya
pembahasan dititik beratkan pada sedimen Tersier, umumnya tidak pernah
diterbitkan dan hanya berlaku di lingkungan sendiri.
Peneliti
terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigrafi umum Cekungan Sumatera
Selatan, antara lain : Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt
(1956), Pulunggono (1969), De Coster 2(1974), Pertamina (1981).
Berdasarkan peneliti-peneliti
terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta
kelompok batuan Kuarter.
1. Batuan
Pra-Tersier
Batuan
Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier.
Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen
(De Coster, 1974) Westerveld (1941), membagi batuan berumur Paleozoikum
(Permokarbon) berupa slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur)
berupa seri fasies vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini
diperkirakan telah mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman
Kapur Tengah sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak
orogenesa Mesozoikum Tengah (De Coster, 1974).
2. Batuan
Tersier
Berdasarkan
penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan
dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut
laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok
Telisa (De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen
Tengah terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi
Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap
susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah –
Pliosen terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan
Formsi Kasai (KAF).
a. Formasi
Lahat (LAF)
Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan
dasar, yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara
berangsur berubah keatas menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit
berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian bawah. Batulempung
tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah
keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat,
batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen
Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan.
Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang
lainnya karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen
hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan vulkanik yang menghasilkan andesit
(Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini mencapai puncaknya
pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan “Lava
Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier
Awal.
b. Formasi
Talang Akar (TAF)
Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin,
1952) nama lain yang pernah digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan
Lower Telisa Member (Marks, 1956). Formasi Talang akar dibeberapa tempat
bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier. Formasi
ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat (De Coster, 1974),
hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan
stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian
tengahnya, ini diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah
Barat Daya Kota Prabumulih (Pertamina, 1981), Formasi Talang Akar dibagi
menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand” terdiri atas batupasir, yang mengandung
kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar dan semakin atas semakin
halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir
konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan
batubara, pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara,
ketebalannya antara 40 – 830 meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan
fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut Spruyt (1956) anggota
transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-seling batupasir kuarsa
berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan batubara. Batupasir
pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan batupasir
gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung
fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram
kecil, diendapkan pada lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut
dangkal dan berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian
selatan cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara cekungan
mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).
c.
Formasi Baturaja (BRF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras
diatas Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir
gampingan. Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal
tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan kelabu putih, batugamping
ini mengandung foram besar antara lain Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa
Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan
berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal. Penamaan
Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai
“Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk”
(v.d. Schilden, 1949; Martin, 1952), “Midle Telisa Member” (Marks,
1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa
Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik
semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).
d. Formasi
Gumai (GUF)
Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan
merupakan hasil pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut
mencapai puncaknya. Hubungannya dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau
daerah dalam cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat
di pusat-pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang dalam terkadang menjari
dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi ini
terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap.
Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff,
breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment
pada formasi ini banyak mengandung Globigerina spp, dan napal yang
mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah
seri monoton dari serpih dan napal yan mengandung Globigerina sp dengan
selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini adalah Awal
Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono (1986)
berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).
e.
Formasi Air Benakat (ABF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari
siklus pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan
susut laut. Formasi ini berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya
terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau banyak lempung tufaan yang
berselang-seling dengan batugamping napalan atau batupasirnya semakin keatas
semakin berkurang kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini dijumpai Globigerina
spp, tetapi banyak mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak
dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt
(1956) ditemukan serpih lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu,
serpih lempung pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa
batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran dan batupasir yang mengandung Mollusca,
glaukonit kadang-kadang gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan
neritik bagian bawah dan berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster,
1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini
, menurut Musper (1937), terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil
(kurang lebih 40 km sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama
lainnya adalah “Onder Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower
Palembang Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai Formatie”
(Spruyt, 1956).
f.
Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas
Formasi Air Benakat. Formasi ini dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan
anggota “b”. Anggota “a” disebut juga Anggota Coklat (Brown Member)
terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir
berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan
batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member)
terdiri atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru
hijau, beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar
halus berwarna putih sampai kelabu terang. Pada anggota “a” terkadang dijumpai
kandungan Foraminifera dan Mollusca selain batubara dan sisa
tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa tumbuhan tidak
dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp (Spruyt,
1956). Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan
pada lingkungan litoral yang berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat
(Spruyt, 1956). Lokasi tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar
Lahat (Tobler, 1906)
g. Formasi
Kasai (KAF)
Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan
Adiwijaya, 1973). Pada bagian bawah terdiri atas batupasir tufan dengan
beberapa selingan batulempung tufan, kemudian terdapat konglomerat
selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada
bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan
kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai
lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906)
menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya
diduga Plio-Plistosen. Lingkungan pengendapan air payau sampai darat. Satuan
ini terlempar luas dibagian timur Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.
3. Satuan
Endapan Alluvial
Penyebaran satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian
sungai-sungai besar berupa meander-meander ditengah dan ditepi sungai.
Ketebalan endapan alluvial ini bervariasi, dan satuan ini terdiri dari hasil
rombakan beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang bersifat lepas berukuran
pasir halus hingga kerakal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Geologi Cekungan Sumatera Selatan
adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman
Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap
Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah
sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa.
Terjadi 3 episode orogenesa
yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu
- orogenesa
Mesozoik Tengah,
- tektonik
Kapur Akhir – Tersier Awal
- dan
Orogenesa Plio – Plistosen.
Cekungan
Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut
dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut
disebut Kelompok Telisa
Dari umur Eosen Awal hingga
Miosen Tengah terdiri atas
n Formasi
Lahat (LAF),
n Formasi
Talang Akar (TAF),
n Formasi
Baturaja (BRF),
n Dan Formasi Gumai (GUF).
B.
Saran
Tentang makalah ini, kami
menyarankan agar makalah yang lain dapat lebih sempurna. Demikianlah makalah
yang dapat kami sajikan lebih dan kurangnya kami mohon maaf, dan saran serta
kritikan yang membangun sangat kami harapkan demi kessempurnaan makalah kami di
masa mendatang.
makasih yo uni jo uda ....
BalasHapus